Lentera Pos- Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja membuat putusan yang mengguncang dunia hukum Indonesia. Dalam sidang Selasa (29/4), MK mengabulkan sebagian permohonan Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Karimunjawa, terkait pasal pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Putusan ini memiliki implikasi luas, terutama bagi pemerintah dan korporasi.
Intinya, MK menyatakan Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE, yang mengatur tentang penyerangan kehormatan atau nama baik, tidak berlaku bagi pemerintah dan korporasi. Pasal-pasal tersebut sebelumnya memberikan ancaman pidana penjara hingga dua tahun dan denda Rp400.000.000 bagi siapapun yang terbukti bersalah. Putusan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa frasa "orang lain" dalam pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 jika diartikan secara luas, tanpa pengecualian bagi lembaga pemerintah, korporasi, atau kelompok tertentu.

Lebih lanjut, MK juga melakukan penafsiran terhadap frasa "suatu hal" dalam pasal yang sama. MK menegaskan bahwa frasa tersebut hanya berlaku untuk "suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang," bukan sekadar kritik atau pendapat yang disampaikan. Hal ini bertujuan untuk melindungi kebebasan berekspresi dan hak berdemokrasi, khususnya dalam hal kritik terhadap kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan umum.

Related Post
Tidak hanya itu, MK juga meninjau Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE yang berkaitan dengan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan. MK menyatakan pasal-pasal tersebut hanya berlaku jika informasi yang disebar mengandung unsur kebencian yang nyata dan disengaja, serta menimbulkan risiko diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Dengan kata lain, kritik yang konstruktif dan disampaikan untuk kepentingan umum tetap dilindungi.
Putusan MK ini didorong oleh banyaknya keberatan masyarakat atas penerapan pasal-pasal tersebut. MK menekankan pentingnya keseimbangan antara perlindungan nama baik dan kebebasan berekspresi, sekaligus menegaskan komitmen negara dalam melindungi hak asasi manusia. Putusan ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan UU ITE untuk membungkam kritik. Namun, putusan ini juga memunculkan pertanyaan baru: bagaimana batasan antara kritik yang konstruktif dan pencemaran nama baik? Bagaimana pula mekanisme pengawasan agar putusan ini tidak disalahgunakan? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi penegak hukum ke depan. Kita tunggu saja bagaimana dampak putusan ini terhadap dinamika sosial dan politik di Indonesia.
Tinggalkan komentar