Lentera Pos- Menteri Lingkungan Hidup (KLH), Hanif Faisol Nurofiq, secara resmi menyegel empat lokasi tambang nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Langkah tegas ini diambil menyusul temuan pelanggaran lingkungan yang signifikan dari beberapa perusahaan tambang. Penyegelan ini bukan sekadar tindakan administratif, melainkan langkah awal menuju proses hukum yang lebih serius, mengingat potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
Dari lima perusahaan yang memegang Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu PT GAG Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Nurham, KLH fokus pada empat perusahaan yang terbukti melakukan aktivitas pertambangan yang merusak. PT Nurham sendiri belum tercatat melakukan aktivitas pertambangan.

Kasus PT ASP di Pulau Manuran menjadi sorotan utama. Aktivitas pengerukan nikel di area seluas 1.173 hektare dengan bukaan tambang 109,23 hektare telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Rehabilitasi lahan dinilai sangat sulit mengingat luas pulau yang terbatas. Lebih memprihatinkan lagi, KLH mengaku belum menerima dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang diterbitkan pada tahun 2006. Jebolnya settling pond telah menyebabkan pencemaran lingkungan yang serius, termasuk kekeruhan pantai yang tinggi.

Related Post
PT KSM di Pulau Kawe juga tak luput dari sanksi. Perusahaan ini terbukti melanggar aturan dengan membuka lahan tambahan seluas 5 hektare di luar Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH). Hal ini menjadi dasar peninjauan kembali izin lingkungan dan potensi penegakan hukum pidana lingkungan.
PT MRP, yang beroperasi di dua lokasi di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele, juga ditemukan melakukan pelanggaran. Sepuluh titik eksplorasi dilakukan tanpa PPKH. KLH telah menghentikan aktivitas eksplorasi PT MRP, meskipun belum ada aktivitas penambangan yang signifikan.
Berbeda dengan tiga perusahaan di atas, PT GAG Nikel, anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam), relatif memenuhi kaidah tata lingkungan, menurut KLH. Namun, KLH tetap akan meninjau kembali izin lingkungannya, mengingat Putusan Mahkamah Agung Nomor 57P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang melarang kegiatan tambang di pulau kecil.
Langkah selanjutnya, KLH akan berkoordinasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, dan KKP untuk menentukan langkah hukum yang tepat, baik pidana, perdata, maupun sanksi administrasi. Proses ini membutuhkan waktu, meliputi pengambilan sampel, uji laboratorium, dan menghadirkan saksi ahli. Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan ketat terhadap aktivitas pertambangan dan penegakan hukum yang tegas untuk melindungi lingkungan di Raja Ampat. Ke depannya, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem perizinan dan pengawasan tambang di wilayah-wilayah yang rawan lingkungan.









Tinggalkan komentar