Lentera Pos- Pemerintah Provinsi Aceh menegaskan pendiriannya terkait empat pulau yang kini masuk wilayah Sumatera Utara. Pernyataan tegas ini muncul sebagai respons atas pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, yang meragukan keabsahan penggunaan MoU Helsinki dan UU 1956 dalam sengketa ini. Kepala Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Sekretariat Daerah Aceh, Syakir, menyatakan bahwa kesepakatan tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumatera Utara, yang menetapkan empat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh, tak bisa diabaikan. Dokumen kesepakatan 1992 ini, menurut Syakir, merupakan landasan hukum yang kuat dan sejalan dengan UU 1956 serta diperkuat oleh MoU Helsinki. Lebih lanjut, Syakir mengacu pada Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang batas daerah, yang secara tegas menyebutkan kesepakatan antar daerah yang berbatasan sebagai salah satu dokumen penyelesaian batas wilayah.
"Kesepakatan para pihak bersifat mengikat dan memiliki kekuatan hukum," tegas Syakir kepada wartawan. Ia menambahkan bahwa Aceh telah menyiapkan seluruh dokumen pendukung, termasuk kesepakatan tahun 1992, untuk dibahas dalam pertemuan dengan Kemendagri pada Selasa (17/6). Pemerintah Aceh, kata Syakir, memilih jalur administratif dan konsultatif, bukan jalur PTUN, untuk menyelesaikan sengketa ini. Sikap tegas ini menunjukkan komitmen Aceh untuk merebut kembali empat pulau yang meliputi Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang.

Pernyataan Yusril yang menyebut UU 1956 dan MoU Helsinki tak relevan dalam menentukan kepemilikan empat pulau tersebut, dibantah keras oleh Pemerintah Aceh. Syakir menekankan bahwa Aceh memiliki bukti-bukti hukum yang kuat untuk mendukung klaim kepemilikan mereka. Pertemuan dengan Kemendagri diharapkan dapat menghasilkan solusi yang adil dan mengembalikan empat pulau tersebut ke wilayah Aceh. Langkah Aceh ini menunjukkan keseriusan mereka dalam memperjuangkan kedaulatan wilayahnya dan menantang pandangan Yusril yang dinilai mengabaikan bukti-bukti sejarah dan hukum yang ada. Ke depannya, perkembangan kasus ini patut dinantikan, terutama bagaimana Kemendagri akan merespon argumen dan bukti-bukti yang diajukan oleh Pemerintah Aceh. Pertanyaannya, akankah pemerintah pusat mengabaikan bukti-bukti sejarah dan hukum yang ada, atau justru akan menegakkan keadilan dan mengembalikan empat pulau tersebut ke wilayah Aceh?

Related Post










Tinggalkan komentar