Lentera Pos- Di tengah hiruk pikuk perayaan Idul Adha, sebuah tradisi unik bernama "Manampuang" masih lestari di Jorong Aro Kandikia, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Berbeda dengan pembagian daging kurban konvensional yang menggunakan kupon, Manampuang menawarkan cara yang lebih egaliter dan meriah: bagi-bagi daging langsung di pinggir jalan! Ratusan warga setempat, tua maupun muda, sabar mengular membentuk barisan panjang, masing-masing membawa wadah beragam, mulai dari keranjang anyaman hingga kantong plastik sederhana, siap menampung limpahan daging kurban.
Tradisi yang telah berlangsung turun-temurun ini, menurut penuturan Arnita (56), seorang warga setempat, telah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Ia sendiri, sejak kecil telah berpartisipasi dalam Manampuang, dan hingga kini tradisi ini tetap dijaga kelestariannya. Tahun ini, panitia kurban menyembelih lima ekor sapi, meningkat dari tiga ekor tahun lalu. Peningkatan jumlah hewan kurban ini menunjukkan antusiasme warga yang tinggi terhadap tradisi unik ini.

A. Datuk Gadang (71), Ketua Panitia Kurban, menjelaskan bahwa Manampuang sengaja dipertahankan untuk memastikan seluruh warga, termasuk mereka yang mungkin tak kebagian kupon di tempat lain, tetap dapat menikmati daging kurban. Sebanyak 35 orang, terdiri dari jamaah surau dan warga lokal, berpartisipasi dalam penyembelihan hewan kurban tahun ini.

Related Post
Uniknya, tradisi ini juga merefleksikan perubahan zaman. Dahulu, warga menggunakan daun talas atau pisang sebagai wadah daging. Kini, wadah-wadah modern seperti plastik dan keranjang anyaman telah menggantikannya. Namun, esensi Manampuang tetap sama: sebuah perayaan kebersamaan dan pelestarian kearifan lokal yang sarat makna. Novita, warga lainnya, menambahkan bahwa Manampuang bukan sekadar pembagian daging, melainkan juga perekat tali silaturahmi dan penguat identitas budaya masyarakat setempat. Tradisi ini menjadi bukti nyata bagaimana sebuah komunitas mampu menjaga warisan leluhur di tengah arus modernisasi. Keberlanjutan tradisi Manampuang patut diapresiasi sebagai contoh nyata pelestarian budaya yang inspiratif bagi daerah lain. Bagaimana menurut Anda?









Tinggalkan komentar