Lentera Pos- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan rapor merah terhadap sistem peradilan pidana di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selama satu tahun terakhir. Penilaian ini didasarkan pada berbagai permasalahan yang dinilai tidak hanya berlanjut dari pemerintahan sebelumnya, namun justru mengalami kemunduran yang signifikan.
Iftitah Sari, peneliti ICJR, dalam diskusi yang digelar di Kantor LSM Formappi, Jakarta Timur, mengungkapkan bahwa kebijakan yang ada belum mampu mengatasi masalah klasik seperti kelebihan kapasitas di Lapas dan Rutan. Lebih jauh, ia menyoroti kecenderungan aparat penegak hukum (APH) yang kerap dijadikan alat untuk mencapai kepentingan tertentu.

Penangkapan paksa dan penahanan terhadap aktivis lingkungan dan demonstran pada Agustus lalu menjadi contoh nyata. "Teman-teman masih ingat bagaimana agenda demonstrasi besar direspons dengan penangkapan. Bahkan, ada yang kami sebut sebagai tahanan politik," ujarnya.

Related Post
ICJR juga menyoroti pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilai masih bermasalah. Potensi kriminalisasi dan kekerasan oleh APH masih mengintai. "Pasal-pasal bermasalah dalam KUHAP berpotensi jadi ruang korupsi dan transaksional. Peluang kekerasan, khususnya saat penangkapan dan penahanan, masih terbuka lebar," tegas Tita.
Sebagai bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP, ICJR menyodorkan draf tandingan RUU KUHAP. Draf ini bertujuan mengakomodasi sembilan tuntutan krusial yang belum tersentuh dalam draf pemerintah dan DPR. Tuntutan tersebut meliputi:
- Kejelasan tindak lanjut laporan pidana dari masyarakat dengan mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan forum komplain pelanggaran prosedur oleh APH.
- Pembaruan standar pelaksanaan upaya paksa yang berorientasi pada HAM.
- Keseimbangan dalam proses peradilan antara negara dan warga negara, termasuk advokat.
- Akuntabilitas kewenangan teknik investigasi khusus.
- Sistem hukum pembuktian yang lebih baik.
- Batasan pengaturan sidang elektronik.
- Akuntabilitas penyelesaian perkara di luar persidangan.
- Penguatan hak-hak tersangka/terdakwa, saksi, dan korban.
ICJR berharap, dengan adanya masukan dari masyarakat sipil, RUU KUHAP dapat menjadi instrumen hukum yang lebih adil dan melindungi hak asasi manusia.










Tinggalkan komentar