Rahasia di Balik Keputusan MK: Pemilu Serentak Picu Pragmatisme Parpol!

Rahasia di Balik Keputusan MK: Pemilu Serentak Picu Pragmatisme Parpol!

Lentera Pos- Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini membuat putusan penting yang mengguncang dunia politik Tanah Air. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK secara tegas menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah yang berdekatan menjerumuskan partai politik (parpol) ke dalam jebakan pragmatisme. Hal ini diungkapkan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang pengucapan putusan di Jakarta, Kamis lalu.

Arief menjelaskan, waktu yang mepet antara pemilu legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota) dan pemilihan presiden/wakil presiden dengan pilkada membuat parpol kesulitan menyiapkan kader-kader terbaiknya. "Parpol harus secara instan menyiapkan ribuan kader untuk berkompetisi di berbagai jenjang, mulai dari DPR, DPD, Presiden, hingga DPRD dan kepala daerah. Akibatnya, idealisme dan ideologi partai seringkali terpinggirkan demi pragmatisme politik," tegas Arief.

Rahasia di Balik Keputusan MK: Pemilu Serentak Picu Pragmatisme Parpol!
Gambar Istimewa : akcdn.detik.net.id

Lebih lanjut, MK menilai sistem pemilu serentak melemahkan pelembagaan parpol. Kurangnya waktu untuk merekrut dan melatih calon legislatif di tiga level sekaligus, bahkan ditambah persiapan untuk Pilpres, membuat parpol rentan terhadap pengaruh modal dan popularitas semata. "Parpol lebih terbuka terhadap pemilik modal dan cenderung memilih calon populer meski bukan kader internal, karena tak punya waktu dan energi untuk membina kader sendiri," ungkap Arief.

COLLABMEDIANET

Situasi ini, menurut MK, membuka peluang praktik transaksional dalam perekrutan calon. Proses pencalonan menjadi jauh dari ideal dan demokratis. Tidak hanya itu, MK juga menyoroti beban kerja penyelenggara pemilu yang membengkak akibat jadwal pemilu yang berhimpitan. Hal ini berdampak pada kualitas penyelenggaraan pemilu itu sendiri.

Arief mencontohkan, pemilu 2024 yang memadatkan pemilu legislatif dan Pilpres dengan Pilkada hanya memberikan waktu sekitar dua tahun bagi penyelenggara pemilu untuk bekerja. Ini jauh dari ideal, mengingat amanat UUD 1945 Pasal 22E ayat (5) yang menetapkan masa jabatan penyelenggara pemilu selama lima tahun. "Masa jabatan menjadi tidak efisien dan efektif karena hanya fokus pada ‘tugas inti’ selama dua tahun," tambahnya.

Atas pertimbangan tersebut, MK memutuskan untuk memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Pemilu daerah akan digelar paling cepat dua tahun, dan paling lama dua tahun enam bulan setelah pemilu nasional. Keputusan ini sebagian mengabulkan permohonan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Putusan ini diharapkan dapat menciptakan iklim politik yang lebih sehat dan demokratis di masa mendatang, menjauhkan parpol dari godaan pragmatisme dan memastikan penyelenggaraan pemilu yang lebih berkualitas.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikuti kami :

Tinggalkan komentar