Penjual Pecel Lele Bisa Dipenjara? UU Tipikor Dipertanyakan!

Penjual Pecel Lele Bisa Dipenjara?  UU Tipikor Dipertanyakan!

Lentera Pos- Mantan Wakil Ketua KPK periode 2007-2009, Chandra Hamzah, dalam kesaksiannya sebagai ahli di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (18/6), mengungkapkan kekhawatirannya terhadap pasal-pasal dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Menurutnya, rumusan pasal yang kurang jelas berpotensi menjerat warga biasa tanpa niat jahat, bahkan sampai ke penjual pecel lele di trotoar.

Chandra mencontohkan, Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor yang mengatur kerugian negara, bisa ditafsirkan secara luas sehingga menjerat siapapun yang dianggap melakukan "perbuatan melawan hukum" yang merugikan keuangan negara. Berjualan di trotoar, menurut Chandra, bisa dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum karena menggunakan fasilitas publik tanpa izin dan berpotensi merusak fasilitas tersebut. Dengan demikian, penjual pecel lele bisa dianggap memperkaya diri sendiri secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan asas lex certa (rumusan yang pasti) dan lex stricta (tidak boleh ditafsirkan secara analogi).

Penjual Pecel Lele Bisa Dipenjara?  UU Tipikor Dipertanyakan!
Gambar Istimewa : akcdn.detik.net.id

Chandra menekankan bahwa frasa "setiap orang" dalam Pasal 3 UU Tipikor mengingkari esensi korupsi itu sendiri. Korupsi, menurutnya, lebih berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan, bukan sekadar perbuatan melawan hukum yang merugikan negara. Oleh karena itu, ia menyarankan penghapusan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor dan revisi Pasal 3 dengan menyesuaikannya dengan Article 19 UNCAC, dengan mengganti frasa "setiap orang" menjadi "Pegawai Negeri" dan "Penyelenggara Negara".

COLLABMEDIANET

Pendapat senada disampaikan oleh Amien Sunaryadi, mantan Wakil Ketua KPK periode 2003-2007, yang juga dihadirkan sebagai ahli. Amien menyoroti fokus penegak hukum yang lebih tertuju pada kasus korupsi yang merugikan keuangan negara, sementara kasus suap—yang menurut data survei merupakan jenis korupsi paling banyak—kurang mendapat perhatian. Ia mempertanyakan efektifitas cara kerja aparat penegak hukum dan pemeriksa keuangan dalam memberantas korupsi di Indonesia.

Kesimpulannya, kesaksian para ahli ini membuka perdebatan penting tentang tafsir dan penerapan UU Tipikor. Apakah UU ini sudah tepat sasaran dalam memberantas korupsi, atau justru berpotensi menjerat warga biasa yang tidak memiliki niat jahat? Pertanyaan ini mengantarkan kita pada perlu adanya kajian mendalam terhadap rumusan pasal-pasal dalam UU Tipikor agar lebih tepat, adil, dan efektif. Ke depan, perlu adanya revisi yang lebih komprehensif untuk memastikan UU Tipikor sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak menimbulkan ambiguitas dalam penerapannya.

Jika keberatan atau harus diedit baik Artikel maupun foto Silahkan Laporkan! Terima Kasih

Tags:

Ikuti kami :

Tinggalkan komentar