Lentera Pos- Polemik Ayam Goreng Widuran di Solo, Jawa Tengah, menyita perhatian publik. Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas, turut menyoroti kasus ini. Ia menyayangkan sikap pengelola restoran yang telah beroperasi sejak 1973 namun baru-baru ini mencantumkan label non-halal setelah protes masyarakat ramai bermunculan. "Ketidakjelasan status kehalalan selama puluhan tahun ini sangat disayangkan," tegas Anwar dalam keterangan resminya, Senin (26/5). Menurutnya, pencantuman label non-halal di outlet dan media sosial baru dilakukan beberapa hari terakhir, setelah protes konsumen muslim membanjiri berbagai platform.
Anwar menekankan aspek hukum dalam kasus ini. Mengacu pada UU Jaminan Produk Halal (UUJPH) 2014 dan Pasal 81 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, ia menegaskan bahwa ketidaktahuan pelaku usaha terhadap hukum bukanlah pembenar. "Ketidaktahuan tidak akan membebaskan mereka dari jeratan hukum," tegasnya. Lebih lanjut, ia juga menyoroti klaim bahwa restoran tersebut menyasar konsumen non-muslim. "Meskipun demikian, restoran tetap wajib menginformasikan status kehalalannya, baik secara lisan maupun tertulis, terutama kepada konsumen muslim yang terlihat dari pakaian atau atribut yang mereka kenakan," tambahnya.

Kasus ini bermula dari terungkapnya penggunaan minyak babi dalam proses penggorengan ayam, yang menjadi menu andalan restoran tersebut. Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka, merespon cepat dengan menutup sementara Ayam Goreng Widuran. Penutupan sementara ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pemilik restoran untuk mengajukan sertifikasi halal dan melakukan asesmen ulang terhadap proses pengolahan makanannya. Meskipun restoran tersebut memiliki sejarah panjang dan dikenal sebagai kuliner legendaris Solo, penutupan sementara dianggap perlu untuk menjaga kerukunan umat beragama dan melindungi hak-hak konsumen. Langkah ini juga menjadi pembelajaran penting bagi pelaku usaha kuliner lainnya untuk senantiasa transparan dan taat pada regulasi yang berlaku. Ke depan, peristiwa ini diharapkan dapat mendorong kesadaran kolektif akan pentingnya transparansi informasi kehalalan produk makanan, khususnya bagi usaha kuliner yang telah beroperasi dalam jangka waktu lama.

Related Post









Tinggalkan komentar